Oleh Eddy OS Hiariej
Dalam A Framework Of Criminal Justice, M King menyatakan, penegakan hukum dari sisi penegak hukum cenderung diskriminatif.
Dalam memproses seorang tersangka, apakah akan menggunakan crime control model, due process model, bureaucratic model atau model lain dari sistem peradilan pidana, semua diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Masih menurut King, meski penegak hukum bertindak atas nama institusi, tetapi tindakan aparat bersifat individu dan model manakah yang akan diterapkan dalam memproses seorang tersangka, semua bergantung pada kasus yang dihadapi dan individu yang dijadikan tersangka.
Tidak satu pun negara di dunia yang menerapkan satu model secara ketat. Biasanya sistem peradilan pidana merupakan akomodasi dari beberapa model dengan dominasi pada satu model tertentu. Tetapi, berdasar standar universal dalam hukum acara pidana, due process model mendominasi sistem peradilan pidana hampir di seluruh belahan dunia. Nilai-nilai yang dianut dalam due process model, antara lain, adalah menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, mengutamakan kualitas pemeriksaan, menolak efisiensi dan menjunjung tinggi HAM.
Pemberantasan korupsi
Secara teoretis apa yang dikatakan King dapat dilihat dalam praktik pemberantasan korupsi ala kejaksaan. Sebut misalnya Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dengan dalih perkara itu ada dalam ranah hukum perdata dan tidak adanya sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik korupsi, serta-merta Jaksa Agung menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Padahal, lebih dari 35 pakar yang tergabung dalam Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia mengkaji secara detail dan komprehensif bahwa kasus BLBI sarat korupsi dan merugikan negara triliunan rupiah. Demikian juga dengan tindakan Kejaksaan Agung yang menghentikan penyidikan atas kasus Tommy Soeharto.
Di sisi lain, tindakan Kejagung berbeda dalam menangani kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang belakangan ini gencar diberitakan. Dari segi prosedural, tindakan Kejagung menjadikan Romli sebagai tersangka yang diikuti penahanan patut dipertanyakan.
Surat perintah penyidikan kasus Sisminbakum baru dikeluarkan 13 Oktober 2008. Tanpa pemeriksaan lebih dulu, tanggal 31 Oktober 2008 Romli dinyatakan sebagai tersangka dan diminta menghadap untuk diperiksa 6 November 2008. Lazimnya, seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka didengar keterangannya lebih dulu, lalu disesuaikan dengan bukti-bukti yang ada, meski tertangkap tangan.
Bandingkan dengan penanganan korupsi yang dilakukan KPK. Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK amat berhati-hati dengan lebih dulu mendengar keterangan dari orang yang akan dijadikan tersangka, lalu disesuaikan dengan saksi-saksi dan alat bukti lain.
Kiranya KPK lebih memahami sifat dasar hukum acara pidana yang mengekang hak asasi manusia karena seseorang yang ditangkap dan ditahan belum tentu pelaku kejahatan. Karena itu, amat dibutuhkan sifat kehati-hatian dan kecermatan dalam menghadapi suatu kasus.
Atasan dulu
Dari sisi substansi, hak dan kewenangan Sisminbakum ada pada Menteri Kehakiman dan HAM yang saat itu dijabat Yusril Ihza Mahendra. Artinya, apa yang dilakukan Romli adalah wettelijk voorschrift (perintah undang-undang) atau setidaknya ambtelijk bevel (perintah jabatan). Jika substansi SK Menteri dianggap memenuhi unsur delik korupsi, yang harus bertanggung jawab lebih dulu adalah menteri setelah itu baru para bawahan.
Kembali bandingkan dengan penanganan korupsi oleh KPK. Dalam kasus korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)–BI yang lebih dulu dimintai pertanggungjawabannya dan telah divonis Pengadilan Tipikor adalah gubernur, baru kemudian bawahannya.
Jika kasus Sisminbakum sarat korupsi, yang harus dimintakan pertanggungjawaban pidana tidak hanya sampai level Dirjen sebagai pelaksana kebijakan, tetapi siapa yang mengeluarkan kebijakan. Begitu pula terhadap kasus-kasus lain yang disusul SP3 oleh Kejagung, padahal kasus itu sarat dengan korupsi. Karena itu, SP3 itu harus dicabut. Jika tidak demikian, dugaan tebang pilih ala Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi, sulit dinafikan.
Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta