Oleh Max Regus
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan optimisme penting, Indonesia sanggup menghadapi krisis keuangan global, dengan kekuatannya sendiri.
Bangsa ini bisa menggunakan semua kemampuan yang dimiliki untuk melawan krisis ini. Untuk pertama kali seorang petinggi negara berbicara lugas tentang kemampuan internal Indonesia menyikapi efek destruktif guncangan moneter dunia saat ini (Kompas, 12/10/2008).
Terkecoh
Banyak orang terperangah menyaksikan krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat (AS). Ambruknya sejumlah lembaga keuangan AS serentak diikuti gelombang krisis ekonomi yang tidak terelakkan. AS mengeluarkan seluruh kemampuan strategis untuk menyelamatkan ekonomi dalam negeri.
Para penentang negara kapitalis gembira menyaksikan rontoknya supremasi ekonomi AS. Namun, apa yang menimpa AS akan memunculkan arus krisis yang akan meremukkan keberadaan negara miskin. Akumulasi kemiskinan global akan menyusul gelombang krisis di AS.
AS dan para penguasa ekonomi dunia tentu dengan cepat menemukan kembali irama perekonomiannya. Dalam konteks ini, kita tidak boleh terkecoh. AS dan konco-konconya bisa bangkit dengan mudah pascakrisis keuangan. Kebangkitan mereka berpeluang menancapkan dominasi masif di level global.
Kedaulatan
Maureen O’Neil, Presiden International Development Research Centre, dalam kata pengantar untuk buku Altered States: Globalization, Sovereignty, And Governance yang ditulis Gordon S Smith berusaha meyakinkan publik bahwa dunia membutuhkan semacam ”jalan baru” untuk meretas keterpurukan dan kehancuran yang ditinggalkan globalisasi. Kemiskinan adalah satu- satunya simpul utama yang menjelaskan kegagalan globalisasi menghasilkan kemakmuran untuk umat manusia.
Di situ, O’Neil menekankan, ”jalan baru” itu sebenarnya dengan memanfaatkan sisi positif globalisasi sembari mengurangi implikasi negatifnya. Sementara Gordon S Smith menyodorkan gagasan yang sama bahwa dunia dalam satu dekade ke depan, buku itu ditulis sepuluh tahun lalu, harus menyiapkan cetak biru pembangunan yang mengacu pada penghapusan kemiskinan di negara dunia ketiga.
Kenyataannya, pemikiran itu hanya berlaku dalam keadaan normal. Buktinya, ketika krisis keuangan seperti sekarang mendera AS yang memegang kendali perekonomian dunia, ”jalan baru” menuju dunia yang lebih baik serasa ”jauh panggang dari api”. Lagi pula, AS tentu tidak mau mengambil risiko lebih buruk jika tidak menyusun fokus yang lebih konkret terhadap kepentingan internalnya sendiri.
”Kekuatan sendiri” yang terungkap dalam ajakan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebenarnya berbicara tentang seberapa kuat Indonesia mempertahankan kedaulatannya berhadapan dengan mekanisme ekonomi dan politik global yang sering meminggirkan kepentingan asasi negara dunia ketiga. Saatnya Indonesia menunjukkan kedaulatan sosial, politik, dan ekonomi di tengah kompetisi global.
Harapan
Krisis keuangan dunia tak selalu harus dilawan dengan strategi canggih. Wapres Jusuf Kalla memaparkan, keguncangan keuangan AS tidak membawa dampak mematikan saat pasar-pasar kecil dan tradisional bisa menjaga pergerakan daya beli masyarakat. Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen menjadi semacam medium untuk menjaga agar harapan tetap terpelihara di tengah kepungan krisis keuangan internasional.
Harapan adalah bagian dari social wisdom yang harus tetap tumbuh dalam sanubari rakyat yang sedang dihantam ketakutan ekonomis. Harapan adalah elemen penting dari apa yang disebut Brian Martin dalam Social Defence, Social Change (1993) sebagai energi pertahanan sosial terhadap serangan kekerasan sosial, politik, dan ekonomi masif.
Namun, penguasa harus mampu mengawal harapan yang masih ada di hati rakyat. Sungguh elok jika empati Wapres bisa menular secara institusional dan akhirnya konsep pembangunan sosial ekonomi yang mendesakkan masa depan Indonesia yang lebih baik. Kini harapan harus bisa melampaui krisis.
Max Regus Mahasiswa Program Pascasarjana Departemen Sosiologi UI Jakarta