Oleh Teuku Kemal Fasya
Apabila bulan tersenyum/ Di atas bumi merdeka/ Dia adalah wajah Tjut Nyak Dhien Apabila angin berembus / Membelai bumi Mugo yang suci/ Dia adalah nafas Tjut Nyak Dhien (Balada Tjut Nyak Dhien, WS Rendra)
Cut Nyak Dhien adalah ikon perempuan pejuang dari Aceh. Lahir di Lampadang, 1848, putri Teuku Nanta Setia, seorang hulubalang VI Mukim, yang masih keturunan Mahmud Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang uleebalang yang terlibat perang melawan agresi Belanda pertama, 6 April 1873 di Kutaradja.
Perang terdahsyat
Dalam buku Paul Van’t Veer, De Atjeh Oorlog, perang itu digambarkan sebagai satu dari empat babak peperangan terdahsyat Belanda di Aceh. Teuku Lamnga ikut dalam aksi merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dikuasai Belanda, 10 April 1873.
Ia juga menjadi saksi saat panglima perang Belanda, Mayor Jenderal JHR Köhler, tersungkur oleh peluru pasukan Aceh. Ucapan terakhir Köhler, 0, God, ik ben getroffen!! (”Ya Tuhan, aku tertembak”).
Sepeninggal suami pertama yang tewas dalam pertempuran di Gle Tarum, Aceh Besar (1878), Cut Nyak Dhien diperistri Teuku Umar. Pasangan ini tidak pernah serasi, apalagi saat Teuku Umar membelot ke Belanda, 1893. Mereka ”bercerai” kala Umar memilih memperluas kekuasaan bersama Belanda dan digelari Teuku Djohan Pahlawan.
Namun, dasar Umar. Ia bukan abdi dalem yang setia. Tahun 1896 ia kembali menusuk Belanda dari belakang ketika stamina logistik dan militernya telah cukup kuat. Umar akhirnya tertembak pasukan Belanda, 11 Februari 1899, meski tidak pernah diketahui apakah meninggal saat itu juga. Ia menjadi mitos menyejarah dalam perlawanan Cut Nyak Dhien.
Seperti kisah pengkhianatan yang lekat dalam sejarah, Cut Nyak akhirnya tertangkap oleh informasi pang laot Ali. Di tengah hujan lebat petang 4 November 1905, ia disergap di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat. Pemerintah Belanda memutuskan melepaskannya dari ”akar perjuangan” dan diasingkan ke Sumedang. Di usia renta ia mengajar mengaji anak-anak dan ibu di Sumedang. Mereka hanya mengenal Cut Nyak dengan panggilan Ibu Perbu (ibu ratu) dan tak pernah tahu perjuangannya di tanah utara Sumatera itu. Ia wafat 6 November 1908, dikubur di kompleks makam para raja, Gunung Puyuh.
Memori yang terlupa
Kisah Cut Nyak Dhien mirip ungkapan Mahmoud Darwish, ”memori yang terlupa” (memory of forgetfulness). Keberadaannya sempat hilang dari peredaran sejarah Nusantara. Pemerintah Aceh baru ”menemukan” makam Cut Nyak Dhien tahun 1959 ketika Ali Hasjmy mengunjungi perpustakaan Leiden, Belanda, dan menemukan fakta pembuangan itu.
Padahal, sejarah tentangnya mengalir deras bak Sungai Wolya dalam syae (cerita) masyarakat Aceh. Sekian lama ia dikisahkan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah ”terhistorisasi”, dianggap mitos oleh masyarakat nasional dan elite. Bahkan, ketika akhirnya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden Soekarno No 106/1964, makamnya tidak seperti cagar sejarah nasional. Pemerintah tak pernah membiayai makam dan rumah tempat pengungsian yang ternyata masih milik pribadi keturunan yang mengurus Cut Nyak masa itu. Pernah suatu masa makamnya sepi karena terlalu banyak aparat berjaga-jaga dan menginterogasi pengunjung setelah muncul Gerakan Aceh Merdeka (1976).
Sebenarnya sejarah harus berjalan di aras moralitas utama: bukti dan fakta, dan mendemistifikasi segala hal yang tak terkait pada pencarian kebenaran (seks, ras, dan etnis). Keetnisan Aceh telah menyebabkan apa yang muncul dari masa lalunya dianggap terlalu dibesar-besarkan, dilebih-lebihkan. Dalam ungkapan Robert F Berkhofer, ”Sejarah tidak bisa didenaturalisasi.” Ia harus hidup meski berupa cerita yang bersambung-sambung di sebuah komunitas, minoritas sekalipun, dan disampaikan secara oral. Status borjuis sejarah, kata Roland Barthes, harus dipatahkan oleh kemauan keras mendengar hal-hal khusus yang terdapat di masyarakat lain.
Kiranya ingatan atas Cut Nyak Dhien saat ini perlu diperbarui total. Yang dibutuhkan adalah dekonstruksi simbolis atas kisah perlawanannya dan bukan mengingat sifat keras kepalanya dan menganggap sebagai inti kebudayaan Aceh. Bukti atas masa lalu memang tidak bisa digoyang. Sejarawan telah merekonstruksi masa lalu sebagai ”ilmu” bagi kita yang butuh ingatan. Yang mungkin dilakukan adalah memperbarui tafsir atas masa lalu agar ia bertenaga di masa kini.
Heroisme Cut Nyak harus terhargai sebagai pengorbanan Aceh atas bangsa ini. Seperti juga pengakuan atas Kartini, Rasuna Said, dan Dewi Sartika sebagai pahlawan-pahlawan wanita nasional.
Mengingat sejarah hanya ada sejarah manusia, maka, merunut pemikiran Max Weber, sejarah Cut Nyak harus selalu dipilin dan dipintal dalam jaring-jaring makna. Tugas kitalah memperbarui makna itu pada haul seabad wafatnya. Seperti puisi Rendra di awal, yang lahir setelah mendengar cerita seorang sahabatnya, pelukis ekspresionis Aceh, Lian Sahar, dan membayar kreativitasnya Rp 25 pada tahun 1957.
Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh